Jumat, 26 November 2010

Cindy Rela

Gadis manis ini tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan seperti di sinetron-sinetron yang tiap hari dia tonton. Sinetron yag sarat akan kekerasan yang dilakukan ibu tiri dan anak-anaknya. Semenjak ayahnya meninggal, hidupnya kini berubah 540o. Dulu, ketika ayahnya masih bisa bernapas, hidupnya sangat sempurna. Dikelilingi orang-orang yang menyayanginya, bergelimangan harta, dan segala sesuatunya berjalan sesuai keinginannya.

Kini, semua kesenangan itu sirna sudah. Ikut bersama ayahnya yang kini terbaring di tanah berukuran 2X1 m. Bahkan ibu tiri dan saudara-saudara tiri yang dulu sayang sama dia kini berubah menjadi monster yang siap menghantui hari-harinya. Kini ia sadar, bahwa rasa sayang mereka itu palsu. Kini bulu yang sesungguhnya telah ditampakkan. Bukan lagi bulu kelinci yang halus dan lembut, tapi bulu serigala yang kasar.

”CINDY.....” raungan menggema di seluruh sisi rumah yang sangat luas dan megah itu. Masih pagi-pagi buta, ibu tirinya sudah mulai mengamuk. Cindy yang sedang mengepel seluruh lantai yang terbuat dari marmer itu mau tidak mau, senang tidak senang harus menghentikan kerjaannya dan bergegas ke kandang singa betina.

”Ada apa ibu?” tanyanya sedikit takut begitu tiba di kamar ibunya.

”Kamu tidak dengar penjual sayur lewat depan rumah? Pagi-pagi mestinya kamu sudah menyiapkan sarapan untuk kami. Jangan-jangan kamu baru bangun tidur malah.”

”Eh...ehm....tidak bu. Tadi saya lagi mengepel lantai rumah.”

”Siapa yang suruh kamu ngepel? Kan jadwal kerja kamu sudah ada. Ngepel mestinya jam 7, setelah sarapan siap.”

”Iya ibu. Cindy hapal jadwalnya. Tapi tadi lantainya kotor, jadi saya bersihkan dulu.”

”Kamu harus disiplin jadi orang. Kalau memang jadwal ngepel jam 7, apapun yang terjadi kamu kerjainnya jam segitu juga. Sudah sana, beli sayur. Ntar Komar keburu pergi.”

Bak robot yang dikuasai remotenya, Cindy pun bergegas ke depan untuk menemui penjual sayur langganannya. Di sana, Bang Komar sudah menanti dengan senyum super fresh, mengalahkan segarnya sayurannya pagi itu.

”Mau beli sayur apa, Dinda?”

”Cindy, Bang. Namanya saya Cindy. Bukan Dinda.”

Mendengar komentar Cindy, senyum Bang Komar agak layu.

Nih gadis cantik-cantik lemot juga, pikirnya.

”Itu panggilan sayang, Dinda.”

Geli sebenarnya Cindy berhadapan dengan Bang Komar. Satu-satunya penjual sayur yang eksis di kompleksnya. Kalau saja ibunya tidak sekejam dan seganas predator yang tidak makan selama seabad, dia tidak akan mau bertemu dengan Bang Komar walau sedetik. Siapapun yang melihat tingkah Bang Komar ketika berhadapan dengan Cindy pasti jadi imut (ingin muntah, maksudnya). Muka ala tukang sayurnya sok diimut-imutkan kayak Lee Min Hoo.

”Dinda baik-baik saja di rumah?” tanyanya sok perhatian.

”Cindy baik-baik aja kok. Meskipun ibu kadang-kadang marah kalau Cindy salah.”

”Ah, Dinda jangan bo’ong deh ma Abang. Bu Meisya jahat kan sama Dinda? Semisal suatu hari Dinda sudah tidak tahan tinggal dengan iblis betina itu, ikut sama Abang aja. Dijamin hidup Dinda bahagia dan tidak sembelit.”

”Bang Komar bisa aja deh. Sejahat apapun ibu, Cindy rela kok. Biar bagaimanapun, dialah satu-satunya keluarga yang Cindy miliki saat ini.”

Entah kenapa senyum Bang Komar yang selalu mengembang kayak brokoli tiba-tiba menjadi layu.

”Ya sudah, Dinda. Abang pergi dulu. Jangan lupa telpon Abang kalau kamu mau minggat.”

”Cindy Bang, bukan Dinda.”

Cindy masih ingat bagaimana cara Bang Komar memberikan nomor HP ke dia. Kacang panjang yang biasanya diikat pake tali rapia atau karet gelang waktu itu Bang Komar bungkus pakai kertas kayak ikan kering. Yang usut punya usut memunculkan angka-angka sial, alias nomor HP Bang Komar.

Ibu tiri Cindy makin menggila. Ketiga pembantu di rumahnya dinonaktifkan. Otomatis pekerjaan yang dipikul Cindy makin banyak dan berat. Cindy tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa bertahan dengan segala apa yang menimpanya. Ia jadi menyesal kenapa dulu ia sangat suka dengan kisah Cinderella. Lambat laun ia merasa telah berubah menjadi Cinderella. Menjadi pembantu di rumah sendiri.

Hasratnya ketika kecil ingin menjadi seperti Cinderella karena ingin memiliki sepatu kaca dan ibu peri yang senantiasa menemaninya. Dan karena kecantikan dan kelembutan hatinya ia mampu membuat seorang pangeran bertekuk lutut mengharap cintanya. Tapi yang terjadi justru hanya bagian terburuk di kehidupan seorang Cinderella. Meski begitu, Cindy tetap berusaha menerima jalan hidupnya ini.

Ia juga rela kalau suatu saat yang datang ke rumahnya bukan seorang pangeran gagah perkasa berkuda putih, tapi abang penjual sayur bersenyum brokoli. Tidak...tidak...tidak. Cindy menarik kembali kepasrahannya. Ia tetap setia menunggu pemuda dengan karakter sama dengan pangeran impiannya. Meskipun Bang Komar mengancam akan bunuh diri dengan memakan semua sayur jualannya dalam sedetik.

”Buat masakan super spesial karena hari ini akan datang tamu super spesial juga.” hardik Bu Meisya.

Cindy hanya bisa melaksanakan semua perintah ibunya tanpa babibu. Khawatir nantinya dia yang dijadikan menu utama. Segeralah dia mengolah bahan-bahan makanan yang telah dia beli. Mengeluarkan segala kemampuan memasaknya untuk bisa menyajikan apa yang diminta sang ibu tiri. Untungnya, urusan menyiapkan dan merapikan alat-alat makan diambil alih oleh kedua saudara tirinya.

Untuk pencuci mulut, Cindy harus ke toko yang jaraknya kurang lebih 200m dari rumahnya. Sesuai pesanan ibunya, dia membeli puding. Sampai di rumah, ternyata tamu yang dinanti telah datang. Di halaman rumahnya, ada Baleno putih parkir dengan gagahnya. Imajinasi Cindy kambuh lagi. Dilihatnya Baleno itu adalah kuda putih dengan kereta di belakangnya. Belum sempat berimajinasi lebih tinggi lagi, seorang nenek sihir tiba-tiba berdiri di samping kuda putih yang langsung berubah jadi mobil kembali.

”Kenapa bengong di situ? Cepat masuk!” hardik ibunya.

Di meja makan yang berbentuk persegi panjang telah berjejer berbagai masakan buatan Cindy. Mulai dari makanan berjenis appetizer, main menu, hingga dessert. Semuanya benar-benar menggugah selera. Di kedua ujung meja duduk ibu Meisya dan seorang lelaki paruh baya. Cindy sendiri duduk di sebelah kiri ibunya berhadapan dengan kakak tirinya. Di sampingnya masih tersisa satu kursi kosong. Mau tidak mau ia menanti kedatangan orang yang akan duduk di sampingnya. Sebab, di depan kursi itu ada piring dan berbagai perlengkapan makan tertata rapi. Yang berarti bahwa kursi itu akan ada penghuninya. Acara makanpun dimulai.

”Bagaimana rasanya Pak John?” tanya ibu Meisya.

”Seperti masakan chef restauran mahal.”

Ibu Meisya tersenyum penuh kemenangan kemudian berkata, ”Tenang saja, masakan seperti ini akhirnya akan menjadi menu sehari-hari pak John.”

Glek. Makanan yang baru saja ditelan Cindy seakan parkir di tenggorokannya. Apa maksud perkataan ibunya tadi. Apakah ibunya akan menjualnya ke om-om pecinta makan ini? Ataukah hanya sekedar jadi tukang masaknya? Cindy sudah memikirkan kemungkinan terburuk yang akan ibunya lakukan terhadapnya ketika kursi di sampingnya berdecit. Dia menoleh.

Oh my gosh. Pria muda, tampan, nan kinclong kini bertengger dengan gagahnya di kursi yang dari tadi kosong. Siapa gerangan dia? Pangeran dari negeri khayalannya kah?

”Nah, Cindy. Lelaki yang baru datang adalah anak pak John. Namanya Adit. Dia adalah calon suamimu. Pilihan almarhum Ayah kamu.”

Ibunya kemudian menjelaskan segalanya panjang kali lebar kali tinggi. Selama ini sikapnya berubah jadi galak agar Cindy tidak terbiasa dimanja. Menyuruhnya mengerjakan segala pekerjaan rumah, dari membersihkan rumah hingga memasak agar kelak ketika waktunya sudah tiba dia akan siap menjadi ibu rumah tangga yang baik.

”Sungguh, ibu sangat tersiksa kalau mesti teriak tiap pagi nyuruh kamu ini-itu. Tapi ini adalah amanah dari ayah kamu.”

”Kalau memang semuanya demi kebaikan Cindy, Cindy rela kok. Cindy yakin, apapun yang dilakukan Ayah adalah yang terbaik. Terima kasih karena Ibu sudah berusaha sekuat tenaga melaksanakan perintah Ayah.”

”Trus, Bang Komar mau dikemanakan?” celetuk kakak Cindy

Seisi rumah tiba-tiba gaduh oleh tawa.

Di tempat yang lain, Bang Komar tersedak saat menelan sayur kacang panjang buatannya sendiri.

”Semoga Dinda Cindy baik-baik saja di sana.”

(Juara III dalam Pena Award 2010)

2 komentar:

Fachrie mengatakan...

oh gitu toh ceritanya, kirain bu tirinya jahat banget..ceritanya bagus..pantes dapat juara ..

muthie salsabil mengatakan...

hehehe,,,cuma dapet posisi 3!!!