Selasa, 11 November 2008

Pindah ke Lain Hati


“Muthie mau jadi apa?”
Gadis kecil yang sedang sibuk menulis di papan tulis dengan dibantu kursi untuk menunjang tingginya, menghentikan kegiatannya dan berbalik ke ibu guru yang menanyainya.
“Dokter, bu.” Jawabnya singkat dan penuh keyakinan.
Guru itu hanya tersenyum mendengar jawaban salah satu murid berprestasinya. Dia sepertinya sudah tahu kalau jawaban itulah yang akan keluar dari bibirnya mungilnya.
* * *
Delapan tahun kemudian......
”Kenapa gak jadi perawat aja, kak?”
Spontan aku berbalik sambil melempar pandangan sinis ke adikku. Seakan dia baru saja bertanya ’kenapa gak jadi pengemis aja?’. Aku langsung saja membayangkan diriku menggunakan seragam serba putih dengan topi yang juga putih bertenger di kepalaku, kemudian sibuk berjalan kesana kemari sesuai perintah sang dokter.
”Karena perawat itu sama saja dengan pembantu. Yang baru bekerja kalau ada perintah dari dokter. Semacam pembantu dokter gitu. Mana mau aku jadi kayak gitu.”
Adikku yang masih polos mengangguk-angguk saja mendengar jawabanku. Aku sungguh terobsesi ingin menjadi dokter. Sejak mengenal yang namanya cita-cita, aku langsung memutuskan kalau besar nanti harus jadi dokter. Alasannya singkat. Karena dokter itu dekat dengan pasien dan bisa menyembuhkan orang sakit. Tentu dengan bantuan Allah juga.
Sekarang aku duduk di kelas 1 SMA. Masih di kelas yang umum. Penjurusannya nanti setelah penaikan kelas. Tentu saja aku harus duduk di kelas IPA jika ingin mewujudkan cita-citaku. Karena itu, aku belajar mati-matian agar nilaiku tinggi dan dengan mudah masuk di kelas IPA. Terutama yang harus tinggi adalah Matematika, Fisika, Biologi, dan Kimia. Tapi bukan berarti aku menyepelekan mata pelajaran lainnya. Karena jika iya, peringkatku akan terlempar dari 10 besar.
Sebenarnya aku adalah orang yang tidak begitu mementingkan peringkat. Tapi tetap saja harus menjaga gengsi. Apa kata dunia kalau di sekolah prestasiku di bawah rata-rata sementara kedua orang tuaku adalah orang yang bergelut di dunia pendidikan, guru.
* * *
”MUTHIE....KITA SEKELAS”
Aku langsung menjauhkan gagang telepon dari telingaku. Supaya tidak pecah gara-gara mendengar teriakan cempreng. Anita, salah seorang sahabatku yang dari kelas 1 SMP sudah kenal dan dekat sengaja meneleponku untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.
”Oya ?? Di kelas mana ?”
”IPA 1.....IPA 1....”
Lagi-lagi aku menjauhkan gagang telepon. Wajar saja kalau Anita segitu girangnya mengucapkan IPA 1. Bagaimana tidak, IPA 1 adalah kelas dimana dikumpulkannya siswa-siswa dengan nilai tinggi dari kelas masing-masing waktu duduk di kelas satu dulu. Aku langsung bersyukur tiada hentinya pada Allah yang telah membukakan jalan_Nya padaku.
”Eh, kita duduknya bareng ya ?? Kamu yang ambil tempat, tapinya”
Humph !!!! Nita....Nita.... Ternyata kamu gak berubah. Masih sering telat. Hari pertama sekolah setelah kenaikan kelas memang ada tradisinya. Siswa-siswa akan datang lebih awal untuk berebut kursi. Biasanya yang jadi rebutan adalah bangku pertama dan kedua. Kentara deh yang duduknya di bangku paling belakang.
* * *
Tidak terasa aku kini duduk di akhir masa putih abu-abuku. Semester akhir di kelas tiga. Semester yang penuh dengan perasaan menegangkan karena akan menghadapi ujian akhir sekolah dan nasional. Tidak hanya itu, kita juga harus siap-siap menghadapi kehilangan terbesar. Berpisah dari guru-guru yang telah memberi banyak ilmu, dari teman-teman yang telah bersama melalui suka duka menjadi siswa SMA, yang kata orang-orang adalah masa terindah. Tapi itulah hidup, ada pertemuan juga akan ada perpisahan.
Semester akhir juga menjadi semester paling menyibukkan. Karena setelah lulus nanti tidak berarti perjalanan terhenti. Justru perjalanan baru saja akan dimulai. Karena di saat itulah masa depan akan ditentukan. Aku tentu saja memutuskan setelah lulus nanti akan lanjut ke perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang menjadi idamanku sejak dulu adalah Unhas. Mungkin karena alasan perguruan tinggi itulah yang paling sering aku dengar namanya karena prestasinya. Juga karena letaknya di Makassar, yang tidak perlu menyeberangi pulau untuk kesana, dari tempat tinggalku tentunya.
”Ayah hanya bisa memberimu 2 pilihan. Kalau bukan di kesehatan, ya di keguruan”
Siang itu aku membicarakan masa depanku bersama Ayah. Bersama dialah aku sering meminta pendapat. Meskipun aku sering menentang pendapatnya.
”Kalau di keguruan kayaknya tidak usah. Soalnya aku paling tidak bisa mengajar. Dan juga tidak punya minat sama sekali.” jelasku.
”Berarti pilihan kamu tinggal di kesehatan.”
”Itu dia yang bikin aku bingung sekarang. SPMB nanti rencananya mau coba IPC, 2 pilihan untuk IPA dan 1 untuk IPS. Pilihan pertamaku Pendidikan Kedokteran. Bagusnya pilihan keduanya apa ya, Yah?“
Ayah diam sejenak.
“Dengar-dengar di Unhas ada jurusan keperawatan. Pilih itu saja !”
Giliran aku yang diam.
Aku sadar sesadar-sadarnya, kalau untuk lulus di kedokteran mesti usaha mati-matian. Apalagi kalau tesnya melalui SPMB. Akan ada banyak saingan yang tidak hanya dari Sulawesi tapi juga pulau-pulau lainnya. Belum lagi otakku yang bisa dibilang pas-pasan kalau mesti bersaing seketat itu.
”Entar aku coba deh” jawabku akhirnya.
Pertimbanganku, kalau tidak lulus di pilihan pertama melainkan pilihan kedua, setidaknya aku bekerja di tempat dimana dokter juga bekerja.
* * *
Besok pengumuman SPMB. Hari ini terasa berjalan lambat dan berat. Pikiranku hanya berkisar pengumuman SPMB, kedoteran, keperawatan, atau malah HI yang menjadi pilihan ketigaku. Bisa juga keperawatan tapi di UIN Makassar. Yup, aku lulus melalui JPPB di keperawatan UIN Makassar. Kalau saja aku orang yang lemah, sangat mungkin aku akan gila hanya karena tegang menunggu pengumuman SPMB yang kurang dari 24 jam lagi.
”Tidak usah gelisah begitu. Besok Ibu belikan kamu surat kabar biar bisa liat pengumumannya disana.”
Yang aku takutkan kalau melihat surat kabar besok, nama dan nomor ujianku tidak muncul. Aku lebih memikirkan perasaan orang tuaku dibandingkan perasaanku sendiri. Begitu banyak uang yang mereka keluarkan sampai aku ikut tes SPMB. Mulai dari biaya bimbingan belajar sampai formulir. Aku hanya berharap bisa lulus di Unhas di pilihan keberapa pun.

Keesokan harinya........
”Selamat ya, kamu bakalan kuliah bersama Maya dan Angrgi,” ucap Erna melalui telepon. Dia terpaksa menyampaikan kabar ini melalui telepon karena nomor Hpku tidak aktif. Sebenarnya tadi malam dia kirim SMS minta nomor ujianku. Tapi Hpku dipinjam sama om, jadinya nomorku tidak aktif.
Sebenarnya aku masih bingung lulus dimana. Karena Erna hanya bilang aku akan kuliah bersama Maya dan Anggi. Tapi mendengar nama Anggi, salah satu temanku yang lulus JPPB di jurusan keperawatan Unhas, aku langsung tau dimana akhirnya Allah menunjukkan jalanku.
Masih setengah percaya, aku langsung berlari mencari ibuku untuk menyampaikan kabar gembira ini, setelah sujud syukur tentunya. Ibuku lebih bahagia lagi dari aku sendiri. Dia bilang mau beli surat kabar untuk lebih memastikannya. Bukannya ragu kalau aku lulus, tapi dia juga ingin merasakan kebahagiaan menemukan nama dan nomor ujian peserta SPMB yang lulus.
”Ah....mungkin temanmu salah lihat kode. Siapa tahu kamu lulusnya di kedokteran, bukan di keperawatan. Coba cek ulang !” ucapan ayahku terdengar menggelikan. Aku saja yang ikut ujian tidak begitu ngotot lulus di kedokteran kalau memang hasilnya mengatakan sebaliknya. Mungkin dulu Ayah juga tertular kegilaaku pada kedokteran. Aku jadi berpikir, jangan-jangan yang punya cita-cita ingin jadi dokter Ayahku sendiri, bukannya aku.
* * *
Tahun kedua di keperawatan......
Allah ternyata punya rencana lain meluluskan aku di keperawatan. Dia ingin membuka mataku kalau ternyata perawat itu bukan pembantu, asisten, atau malah suruhan dokter. Perawat adalah partner dokter. Perawat, dokter, dan paramedis lainnya bekerja sama untuk mewujudkan kesembuhan klien. Mereka bekerja pada bidang keahlian masing-masing tanpa ada perbandingan derajat di antaranya.
Allah juga telah memberikan sesuatu yang merupakan kebutuhanku, bukan keinginanku semata. Aku masih ingat alasanku ingin menjadi dokter. Yaitu bisa dekat dengan pasien, mendengar keluh-kesahnya, dan merawatnya. Yang ternyata hanya bisa aku lakukan jika menjadi seorang perawat.
Terima kasih ya Allah, karena Engkau telah memberikan yang terbaik buatku. Semoga segala yang Engkau titipkan padaku, bisa aku manfaatkan tidak hanya untuk diriku sendiri tetapi juga untuk orang banyak. Semoga segala sesuatu yang aku lakukan, memperoleh ridho dari_Mu. Amin.

The end

1 komentar:

Aya Nurdin mengatakan...

Wow, postingan kamu menarik. Sampai saya yang baca pun bisa merasa deg-degan seperti yg kamu alami saat menunggu pengumuman SPMB. Nice story, keep on writing ya^_^